Sigit Iko Sugondo: Perlu Kebijakan Pembangunan Ekonomi Baru

Umum  
Praktisi pemberdayaan masyarakat Sigit Iko Sugondo tampil sebagai pemantik diskusi pada Bincang Ekonomi yang dilaksanakan di Ruang Pegadaian, FEB Universitas Airlangga, Surabaya, Jumat (14/10/2022).  (Foto: Istimewa)
Praktisi pemberdayaan masyarakat Sigit Iko Sugondo tampil sebagai pemantik diskusi pada Bincang Ekonomi yang dilaksanakan di Ruang Pegadaian, FEB Universitas Airlangga, Surabaya, Jumat (14/10/2022). (Foto: Istimewa)

DESTINASI -- Ekonomi dunia sedang tidak baik-baik saja. Inggris, Mesir, Turki, dan Argentina terancam gulung tikar menyusul Srilangka. Indonesia, tentu merasakan dampaknya. Meskipun demikan, bangsa Indonesia harus banyak bersyukur karena kondisinya masih lebih baik.

“Melihat kondisi tersebut, kebijakan pembangunan ekonomi yang diambil sepertinya sudah tak lagi relevan dengan teori ekonomi pembangunan saat ini. Diperlukan teori baru sebagai dasar untuk bangkit dan membangun tata perekonomian baru,” kata praktisi pemberdayaan masyarakat Sigit Iko Sugondo.

Ia mengatakan hal tersebut pada Bincang Ekonomi dilaksanakan di Ruang Pegadaian, FEB Universitas Airlangga, Surabaya, Jumat (14/10/2022). Bincang Ekonomi itu diikuti oleh tim peneliti Puspas Unair, mahasiswa Paskasarjana Ekonomi Syariah, dan pengelola Lembaga Zakat di Jawa Timur.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Lebih jauh Sigit menjelaskan, kebijakan pembangunan ekonomi baru itu mengacu pada integrasi tiga kebijakan, yaitu; ekonomi inklusif yang disertai dengan inklusi sosial (social inclusion) dan inklusi keuangan (financial inclusion). “Ketiga kebijakan tersebut tidak dapat berjalan secara parsial, sendiri-sendiri, tetapi harus menjadi kebijakan yang terintegrasi, berjalan bersama,” ujar Sigit yang tampil sebagai pemantik diskusi dalam acara itu.

Ia menjelaskan, ekonomi inklusif merupakan pembangunan ekonomi yang menciptakan akses dan kesempatan yang luas bagi seluruh lapisan masyarakat secara berkeadilan, meningkatkan kesejahteraan, serta mengurangi kesenjangan antar kelompok dan wilayah.

“Kebijakan pembangunan ekonomi inklusif akan menghasilkan pertumbuhan inklusif yakni pertumbuhan yang tidak hanya menciptakan peluang ekonomi baru, tetapi juga memastikan kesempatan yang sama untuk semua lapisan masyarakat, khususnya yang miskin (Son, 2007),” paparnya.

Mengutip Canadian Urban Council Libraries, 2010, Sigit menegaskan bahwa ekonomi inklusif akan semakin efektif jika disertai dengan praktik inklusi sosial. Inklusi sosial didefinisikan sebagai cara partisipatif, otentik, dan akuntabel di mana lembaga menjunjung tinggi dan memperkuat prinsip-prinsip akses, kesetaraan dan, sebagai hasilnya, inklusi sosial bagi semua golongan.

Sigit menambahkan, inklusi sosial merupakan sebuah proses sosial dalam masyarakat yang mencoba memperbaiki pola relasional antarindividu dan kelompok, termasuk memperbaiki kemampuan dan kesempatan, secara bermartabat, untuk mengakses berbagai sumberdaya dalam masyarakat.

“Dengan adanya inklusi sosial, maka setiap orang akan berada pada posisi yang sama dengan orang lain atau kelompok lain sehingga membuat orang tersebut berusaha untuk memahami perspektif orang lain atau kelompok lain dalam menyelesaikan sebuah permasalahan,” ujarnya.

Menurutnya, peluang usaha baru akan tercipta dan makin efektif apabila mengacu pada pengembangan potensi lokal. Peluang usaha baru berbasis potensi unggulan lokal akan membuka peluang usaha dan menyerap angkatan kerja bagi masyarakat sekitar. Dalam hal ini diperlukan keahlian sumberdaya manusia (SDM) lokal yang kompeten dan berintegritas dan aplikasi teknologi yang adaptif.

“Kebijakan pembangunan ekonomi inklusif yang disertai sosial inklusif akan memberikan kesempatan sebesar besarnya kepada semua lapisan masyarakat sebagai pelaku ekonomi yang akan mempengaruhi pertumbuban ekonomi secara nyata, mengurangi kesenjangan sosial, menyerap tenaga kerja, dan mengentaskan kemiskinan,” kata Sigit.

Selanjutnya, diperlukan kebijakan keuangan inklusif untuk memberikan akses keuangan bagi masyarakat, khusunya pelaku usaha. “Keuangan inklusif didefinisikan kondisi ketika setiap anggota masyarakat mempunyai akses terhadap berbagai layanan keuangan formal yang berkualitas secara tepat waktu, lancar, dan aman dengan biaya terjangkau sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” paparnya.

Menurutnya, layanan keuangan harus lebih akomodatif dan mudah bagi pelaku usaha. Pelaku usaha khususnya usaha mikro dan kecil, petani, dan peternak memerlukan akses pembiayaan yang mudah dan murah mengingat hasil yang diperoleh juga belum terlalu besar sehingga akan menjadi payah apabila harus menanggung imbal hasil yg mahal. “Sementara saat ini banyak pelaku usaha tersebut memilih pembiayaan yang mudah meskipun tidak murah,” ujarnya.

Sigit mengemukakan, pembangunan partisipatif yang melibatkan lebih banyak masyarakat dan kemudahan mengakses keuangan akan mempercepat pertumbuhan ekonomi. “Pemberdayaaan masyarakat merupakan salah satu startegi dalam mewujudkan pembangunan partisipatif sebagai perwujudan integrasi kebijakan ekonomi inklusif, inklusi sosial, dan keuangan inklusif,” kta Sigit Iko Sugondo.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Irwan Kelana adalah cerpenis, novelis, wartawan dan penikmat travelling.

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image