Ke Manakah Perginya Tukang Ngaduk Dodol Depok?

Budaya  

Foto Ilustrasi: Pengrajin membuat dodol pada acara Lebaran Betawi 2019 di lapangan silang Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Ahad (21/7). (Foto: Prayogi/Republika)

Orang Parung Bingung, Kota Depok yang berumur lima puluh tahun ke atas pada umumnya langsung paham dengan kata "ngaduk" yang maksudnya membuat dodol. “Dodol adalah makanan paling istimewa ketika lebaran tiba. Depok zaman dulu dikenal dengan dodolnya. Dodol Depok,” kata pegiat budaya Betawi, Dr Syamsul Yakin MA, Rabu (6/4).

Menurut penulis buku “Milir: Sebuah Storytelling Masyarakat Betawi Pinggir Perspektif Ekonomi, Agama, dan Budaya”, ngaduk dilakukan paling cepat 10 hari sebelum lebaran. Bahan utama ngaduk tentu beras ketan. “Pada tahun 1970-an, saat sawah masih menghampar di Depok, masyarakat sengaja menanam padi ketan untuk membuat dodol,” ujarnya.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Yang diperlukan berikutnya adalah kelapa. Kelapa harus yang sudah benar-benar tua. Orang Parung Bingung sebagian memiliki pohon kelapa di pekarangan rumah. “Kelapa inilah yang dipersiapkan untuk bikin dodol. Bahan lainnya adalah gula jawa,” kata Dr Syamsul Yakin yang sehari-hari adalah dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

“Seingat saya, ada dua cara membuat dodol. Pertama, beras ketan yang sudah jadi tepung diceburkan ke dalam kuali besar yang berisi gula jawa yang lagi menggulak. Kuali besar ini disebut kenceng, terbuat dari tembaga, khusus untuk bikin dodol,” tuturnya.

Cara seperti ini, kata Syamsul Yakin, terhitung lama dan melelahkan. Karena harus diaduk terus-menerus di atas tungku dengan api yang harus stabil. “Di Parung Bingung pekerjaan ini sudah ada tukangnya. Dia seorang laki-laki paruh baya yang gagah,” ujar Syamsul Yakin yang merupakan putra asli Kampung Parungbingung, Kelurahan Rangkapan Jaya Baru, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok.

Cara kedua, kata dia, tepung beras ketan dibungkus daun pisang batu dan dikukus di atas kukusan lengkap dengan dandang dengan api yang merah menyalah. Setelah dianggap matang, diangkat lalu dilepas daun pisang batunya. Lalu diceburkan ke dalam gula jawa cair yang sedang menggulak. Cara seperti ini terasa lebih cepat.

“Namun kata orang dulu, cara pertama lebih bagus kualitas dodolnya. Lebih empuk, tidak mudah buluk, dan tidak gampang tengik. Bahkan sampai Lebaran Haji masih bisa dinikmati,” ujar penulis buku yang produktif itu.

Ngaduk menjelang lebaran dipotret dari kaca mata ekonomi boleh dikata membuka lapangan kerja. “Seingat saya minimal ada sepuluh orang kaya di kampung saya. Mereka kaya banda. Maksudnya sawah dan kebun mereka lebar. Semua bahan untuk membuat dodol didapat dari sawah dan kebun tersebut, kecuali gula jawa,” paparnya.

Syamsul Yakin menjelaskan, untuk membuat 25 liter dodol dibutuhkan tukang tumbuk ketan dan tukang parut kelapa yang masing-masing dua orang. Belum lagi tukang belah kelapa dan ngampak kayu untuk bahan bakar. Supaya panas menyala dipilih kayu rambutan, bukan kecapi atau jengkol. Selain mereka, saat pelaksanaannya ada satu orang yang dianggap ahli yang bertanggungjawab menjamin mutu dodol. Orang ini biasanya jadi pimpinan rombongan. Kendati pekerjaannya tidak berkeringat tapi upahnya paling gede.

Tempat dodol disebut tenong. Ukurannya bermacam-macam. Dodol yang disimpan di tenong bukan untuk dibagi-bagi tetangga, tapi buat lebaran. Untuk tamu-tamu. Tetangga biasanya dibagi seorang sebentel. Satu bentel tidak lebih dari setengah kilo.

“Menurut saya, dodol paling enak dimakan panas-panas. Pas baru jadi. Cuma memang kalau terlalu banyak, berasa nyelab,” katanya dengan logat bahasa Betawi pinggiran yang kental.

Inilah ngaduk yang bukan saja jadi budaya dan bernilai ekonomi, tapi juga menjadi status sosial bagi orang yang melalukannya. “Namun, sekarang ngaduk sudah tidak jadi ukuran apa-apa. Kalau ada yang ngaduk, dianggap mau repot-repot saja. Sebab dodol sudah banyak dijual. Apalagi dodol cina,” ungkapnya.

Terlepas dari hilangnya budaya ngaduk di rumah-rumah orang kaya menjelang lebaran, yang perlu dipertanyakan adalah kemana para ahli bikin dodol itu sekarang? Apakah mereka sudah meninggal? Adakah anak keturunan mereka yang mewarisi ilmunya? “Inikah yang menyebabkan Depok tidak lagi terkenal dengan dodolnya?” kata Syamsul Yakin.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Irwan Kelana adalah cerpenis, novelis, wartawan dan penikmat travelling.

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

× Image